Jumat, 19 Februari 2010

Cadangan Air Tanah Menipis Akibat Industri

BEKASI, (Pikiran Rakyat).-
Tiga kecamatan di Kota Bekasi masuk dalam kategori zona merah karena cadangan air tanahnya yang menipis. Dengan adanya kondisi itu, Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad berencana membatasi pengambilan air bawah tanah, terutama bagi industri di Kota Bekasi.
Data pada Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bekasi menyebutkan, tiga kecamatan dengan cadangan air tanah yang menipis adalah Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Medan Satria, dan Kecamatan Bekasi Barat. Diduga menipisnya air tanah di ketiga kecamatan itu karena banyaknya industri yang masih mengandalkan air tanah sebagai penyedia kebutuhan air.
"Di ketiga wilayah itu memang banyak industrinya. Karena PDAM (perusahaan daerah air minum-red.) belum bisa memenuhi kebutuhan air bagi industri, maka semua industri di Kota Bekasi terutama industri sedang dan besar mengandalkan air tanah, bukan air permukaan (sungai-red.)," kata Kepala BPLH Kota Bekasi, Dudy Setiabudhi, Senin (8/2).
Ia menjelaskan, ketiga daerah yang telah menipis air tanahnya itu sangat rawan terhadap kekeringan dan merembesnya air laut. "Kondisinya sudah kritis," ujarnya.
Di Kota Bekasi, menurut Dudy, daerah yang masih bagus cadangan air tanahnya misalnya daerah Bekasi Selatan, Bantargebang, serta Jatisampurna. Salah satu penyebabnya karena di daerah tersebut perkembangan industri dan pembangunan tidak secepat di daerah Bekasi Utara, Medan Satria, ataupun Bekasi Barat yang menjadi kawasan industri.
Wali Kota Bekasi sudah berulang kali menyatakan akan membatasi penggunaan air tanah. Bahkan, wali kota juga memberikan batas waktu hingga 2013 bagi perusahaan yang memiliki sumur air tanah lebih dari satu untuk menutupnya.
Secara terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Bekasi, Purnomo Narmiadi mengatakan, hingga saat ini pasokan air dari PDAM belum menyentuh industri.
Ia mengakui, rencana itu sebenarnya memicu PDAM untuk memperbaiki kinerjanya sehingga mampu melayani seluruh lapisan masyarakat, termasuk kalangan industri.
Sementara Direktur PDAM Bekasi, Wahyu Prihantono sendiri mengaku PDAM siap mengaliri air ke sejumlah perusahaan. Sebab, dengan sejumlah revitalisasi yang ada, ketersediaan air mencapai kapasitas 30 sampai 40 ribu liter per detik.

Sumber : Pikiran Rakyat

Jumat, 12 Februari 2010

Antara Soe Hok Gie dan Puncak Mahameru

Apa hubungan antara Soe Hok Gie dan Puncak Mahameru?
Dan apa yang berkaitan antara keduanya?
Soe Hok Gie dan Mahameru adalah dua legenda Indonesia, sedangkan hubungan antara keduanya?
Soe Hok Gie wafat di Mahameru saat melakukan pendakian pada 18 Desember 1969 karena menghirup asap beracun gunung tersebut
Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Dia adalah sosok aktifis yang sangat aktif pada masanya. Sebuah karya catatan hariannya yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman oleh LP3ES diterbitkan pada tahun 1983. Soe Hok Gie tercatat sebagai mahasiswa Universitas Indonesia dan juga merupakan salah satu pendiriMapala UI yang salah satu kegiatan terpenting dalam organisasi pecinta alam tersebut adalah mendaki gunung. Gie juga tercatat menjadi pemimpin Mapala UI untuk misi pendakian Gunung Slamet, 3.442m.

Kemudian pada 16 Desember 1969, Gie bersama Mapala UI berencana melakukan misi pendakian ke Gunung Mahameru (Semeru) yang mempunyai ketinggian 3.676m. Banyak sekali rekan-rekannya yang menanyakan kenapa ingin melakukan misi tersebut. Gie pun menjelaskan kepada rekan-rekannya tesebut :
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Sebelum berangkat, Gie sepertinya mempunyai firasat tentang dirinya dan karena itu dia menuliskan catatannya :
“Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Gie yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), berikut beberapa kisah yang mewarnai tragedi tersebut yang saya kutip dari Intisari :
Suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan, mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan.
Dengan tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.
Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.
Sumber : fendra.blogsome.com

Pengikut

MAPALA UIT Makassar ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO